Sabtu, 22 Februari 2014

JOKOWI HANYALAH ANAK SEORANG TUKANG KAYU


Masa kecil Jokowi bukanlah orang yang berkecukupan. Ia hanya anak seorang tukang kayu, nama bapaknya Noto Mihardjo, hidupnya amat prihatin, dia besar di sekitar Bantaran Sungai. Ia tau bagaimana menjadi orang miskin dalam artian yang sebenarnya.

Bapaknya penjual kayu di pinggir jalan dan sering juga menggotong kayu gergajian. Sedangkan Jokowi sering ke pasar tradisional dan berdagang apa saja waktu kecil. Ia melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana pedagang dikejar-kejar aparat, diusir tanpa ada rasa kemanusiaan, Ia prihatin, dan merasa sedih kenapa kota tidak ramah pada manusia.

Sewaktu SD ia berdagang apa saja untuk mencukupi biaya sekolah, ia mandiri sejak kecil tak ingin menyusahkan bapaknya yang tukang kayu. Ia mengumpulkan uang receh dan ia celengi di tabungan ayam yang terbuat dari gerabah. Kadang ia juga mengojek payung, membantu ibu-ibu membawa belanjaan, ia jadi kuli panggul. Sejak kecil ia tau bagaimana susahnya menjadi rakyat, tapi disini ia menemukan sisi kegembiraannya.
Ia sekolah tidak menggunakan sepeda, tapi berjalan kaki. Ia sering melihat suasana kota, di umur 12 tahun dia belajar menggergaji kayu, tangannya pernah terluka saat menggergaji, tapi ia senang dan ia gembira menjalani kehidupan itu, baginya “Luwih becik rengeng-rengeng dodol dawet, tinimbang numpak mercy mbrebes mili”. Keahliannya menggergaji kayu inilah yang kemudian membawanya ingin memahami ilmu tentang kayu.


Lalu ia berangkat ke Yogyakarta, ia diterima di Universitas Gadjah Mada, Fakultas kehutanan. Ia pelajari dengan tekun struktur kayu dan bagaimana pemanfaatannya serta teknologinya. Di masa kuliah ia jalani dengan amat prihatin, karena tak ada biaya hidup yang cukup. Kuliahnya disambi dengan kerja sana sini untuk biaya makan dan kost. Pak Jokowi sampai lima kali pindah kost karena biaya kost terus naik sehingga beliau selalu mencari yang lebih murah.

Hidup prihatin membentuk beliau menjadi sosok yang disiplin, Jokowi mampu menerjemahkan kehidupan prihatinnya lewat bahasa kemanusiaan, bahwa dalam kondisi susah orang akan menghargai tindakan-tindakan manusiawi, disinilah Jokowi belajar untuk rendah hati.

Selama kuliah ia tetap menjadi tukang gergaji kayu, tapi ia sudah memiliki wawasan. Beliau melihat industri kayu berkembang pesat sehingga beliau mendalami usaha mebeler. Disini ia pertaruhkan segalanya, rumah kecil satu-satunya milik bapaknya ia jaminkan ke Bank. Dan ia berhasil mengembangkan usahanya, ini merupakan langkah yang penuh resiko tapi beliau berhasil melewatinya. Ia berhasil dari sebuah bengkel mebel yang berdinding gedek disamping pasar yang kumuh. Ada kalanya Ia menangis terharu ketika pekerja-pekerjanya bisa makan.

Suatu saat ia kedatangan orang Jerman bernama Micl Romaknan, orang Jerman ini kebetulan tidak membawa grader (ahli nilai) kayu, ia bertemu dengan Jokowi, dan ia berkata : “Wah, di Jepara saya ketemu orang namanya Joko, baiklah kamu kunamakan saja Djokowi, kan mirip Djokovich” akhirnya terciptalah sebuah nickname Jokowi yang melegenda itu.

Perkembangan bisnisnya bagus, ia dipercaya karena ia jujur, orang Jerman suka dengan orang yang jujur dan pekerja keras, Jokowi hanya tidur 3 jam sehari, selebihnya adalah kerja. Ia tak pernah makan uang dari memeras atau pungli, ia makan dari keringatnya sendiri. Dengan begitu hidupnya penuh keberkah. Jokowi berhasil mengekspor mebel puluhan kontainer dan ia memdapatkan bonus berjalan-jalan ke Eropa.

Tidak seperti kebanyakan orang Indonesia yang mengunjungi Eropa dengan cara hura-hura atau foto sana, foto sini tanpa memahami hakikat masyarakatnya. Jokowi di Eropa berpikir reflektif. “Kenapa kota-kota di Eropa, kok sangat manusiawi, sangat tinggi kualitasnya baik kualitas penghargaan terhadap ruang gerak masyarakat sampai dengan kualitas terhadap lingkungan” lama ia merenung hal ini, akhirnya ia menemukan jawabannya “Ruang Kota dibangun dengan Bahasa Kemanusiaan, Bahasa Kerja dan Bahasa Kejujuran”. Tiga cara itulah yang kemudian dikembangkan setelah ia menduduki jabatan di Solo.


Setelah sukses membangun bisnisnya, Jokowi berpikir “Bagaimana ia bisa berterima kasih pada bangsanya” lalu ia mendapatkan jawabannya, bahwa hal terbaik yang dapat dilakukan untuk berterima kasih kepada bangsa & negara adalah dengan menjadi pemimpin rakyat yang bertanggung jawab dan penuh dedikasi tinggi. Pertanggung jawaban politiknya adalah pertanggungjawaban moral bukan karena ia mencari hidup dan kekayaan dalam dunia politik, ia ikhlas dalam bekerja, baginya inilah cara berterima kasih pada bangsanya.



Saat masuk ke dalam dunia politik, awalnya tidak percaya diri, karena sosoknya lebih mirip tukang becak alun-alun kidul bukan seorang yang gagah dan berkarisma, dalam masyarakat kita sosok yg gagah dan berkarisma inilah sosok paling ideal untuk menjadi seorang pemimpin , dan bukan seorang dengan postur kurus, ceking dan tak berwibawa.Kondisi seperti itulah yang dialami Jokowi, tapi beruntung bagi Jokowi, saat itu masyarakat Solo sedang bosan dengan pemimpin lama, pemimpin yang gagah dan berkarismatik, masyarakat Solo ingin membuat perubahan dan mereka mencoba sesuatu hal yang baru. Akhirnya Jokowi menang tipis. Seorang pemimpin yang bertubuh kurus

Masyarakat mempercayainya dan ia menjawabnya dengan “Kerja” ia siang malam bekerja untuk kotanya, ia datangi tanpa lelah rakyatnya, ia resmikan gapura-gapura pinggir jalan, ia hadir pada selamatan-selamatan kecil, ia terus diundang bahkan untuk meresmikan pos ronda sebuah RW sekalipun. Dengan bekerja keras akhirnya beliau mengerti anatomi masyarakat dari tingkat bawah sampai atas.

Suatu hari Jokowi didatangi Kepala Satpol PP. Kepala Satpol itu meminta pistol karena ada perintah pemberian senjata dari Mendagri. Jokowi meradang dan menggebrak meja “Sudah Gila apa aku menembaki rakyatku sendiri, memukuli rakyatku sendiri…keluar kamu…!!” kepala Satpol PP itupun dipecat dan diganti dengan seorang perempuan, pesan Jokowi pada kepala Satpol PP perempuan itu “Kerjakan dengan bahasa cinta, kerena itu yang diinginkan setiap orang terhadap dirinya, cinta akan membawa pertanggungjawaban, masyarakat akan disiplin sendiri jika ia sudah mengenal bagaimana ia mencintai dirinya, lingkungan dan Tuhan. Dari hal-hal inilah Jokowi membangun kota-nya, membangun Solo dengan bahasa cinta….”.

Apakah di Jakarta hal tersebut dapat diterapkan? banyak yang nyinyir bahwa Solo bukan Jakarta. Tapi apa kata Jokowi “Hidup adalah tantangan, jangan dengarkan omongan orang, yang penting kerja, kerja dan kerja. Kerja akan menghasilkan sesuatu, sementara omongan hanya menghasilkan alasan”

Jokowi berangkat dalam alam paling realistisnya. Kepemimpinan yang realistis, bertanggungjawab dan kredibel. Beruntung Indonesia masih memiliki Jokowi, pada Jokowi : “Merah Putih ada harapan berkibar kembali dengan rasa hormat dan bermartabat sebagai bangsa. Autor ( FACEBOOK Dukung Joko Widodo Untuk RI 1 )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar